Jumat, 27 November 2015

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM CERMIN PRIBADI ROSULULLAH


Kepemimpinan dalam Islam : Cermin Pribadi Rasulullah
Pemimpin adalah seseorang yang diberi kedudukan tertentu dan dan bertindak sesuai dengan kedudukannya tersebut. Pemimpin juga adalah seorang ahli dalam organisasi / masyarakat yang diharapkan menggunakan pengaruh dalam melaksana dan mencapai visi dan misi institusi / lembaga yang dipimpinnya. Dia adalah memimpin dan bukan menggunakan kedudukan untuk memimpin. Sedangkan kepemimpinan adalah suatu peranan dan proses mempengaruhi orang lain. Kepemimpinan Menurut Islam Kepemimpinan dalam Islam merupakan usaha menyeru manusia kepada amar makruf nahi mungkar, menyeru berbuat kebaikan dan melarang manusia berbuat keburukan. Kepemimpinan Islam adalah perwujudan dari keimanan dan amal saleh.
Oleh karena itu seorang pemimpin yang mementingkan diri, kelompok, keluarga, kedudukannya dan hanya bertujuan untuk kebendaan, penumpukan harta, bukanlah kepemimpinan Islam yang sebenarnya meskipun si pemimpin tersebut beragama Islam, berlabelkan Islam. Sebagaimana dipahami, bahwa tidak semua orang layak, mampu atau berhak memimpin. Kepemimpinan adalah bagi dia atau mereka yang layak dan berhak saja. Sejumlah pendapat mengatakan bahwa dianggap telah melakukan satu pengkhianatan terhadap agama apabila diangkat seorang pemimpin yang tidak layak. Di dalam Islam, pemimpin kadangkala disebut imam tapi juga khalifah. Dalam shalat berjamaah, imam berarti orang yang didepan. Secara harfiyah, imam berasal dari kata amma, ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Ini berarti seorang imam atau pemimpin harus selalu didepan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan.       Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya khalifah dinyatakan sebagai pengganti karena memang pengganti itu dibelakang atau datang sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut khalifah, itu artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong diri dan orang yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh orang yang dipimpinnya kearah kebenaran Kepemimpinan Rasulullah Kepemimpinan Rasulullah s.a.w. merupakan contoh terbaik dalam menghayati nilai-nilai kepemimpinan . Baginda telah meletakkan kepentingan umat Islam mengatasi segala kepentingan diri dan keluarga. Sifat-sifat kepemimpinan yang dihayati dan ditonjolkan baginda telah menjadi rujukan para pengikut beliau di sepanjang zaman dan setiap generasi.
Rasulullah SAW telah memberikan gambaran yang sangat rinci bagaimana beliau bersikap sebagai seorang pemimpin; tidak pamer kemewahan dan tidak pula angkuh dengan jabatan yang beliau sandang. Sebaliknya Rasulullah SAW senantiasa menampilkan sikap keramahannya kepada umatnya, menyebarkan salam, menyantuni yang kecil, menghormati yang tua, peduli pada sesama dan selalu tunduk dan takut kepada Allah SWT. Dzat yang telah memberikan tugas dan tanggung jawab ke pundaknya. Meskipun Beliau telah wafat ribuan tahun yang lalu, tetapi pengaruhnya tetap abadi hingga sekarang, tidak lapuk dimakan zaman dan tidak lekang dimakan usia. Kepemimpinan adalah pengaruh. Makin kuat kepemimpinan seseorang, akan makin kuat pula pengaruhnya. Begitu pula dengan Rasulullah. Lalu, pemimpin seperti apakah Rasulullah saw. sehingga pengaruhnya bisa menembus relung hati kita? Siang malam kita merindukan berjumpa dengan Beliau sehingga rela berdesak-desakan di raudhah (sebuah ruang dekat mimbar Masjid Nabawi di Madinah) sekalipun. Jawaban dari semua itu ternyata, pertama, sebelum memimpin orang lain, Rasulullah saw. selalu mengawali dengan memimpin dirinya sendiri. Beliau pimpin matanya sehingga tidak melihat apa pun yang akan membusukkan hatinya. Rasulullah memimpin tutur katanya sehingga tidak pernah berbicara kecuali kata-kata benar, indah, dan padat akan makna. Rasulullah pun memimpin nafsunya, keinginannya, dan memimpin keluarganya dengan cara terbaik sehingga Beliau mampu memimpin umat dengan cara dan hasil yang terbaik pula. Sayang, kita sangat banyak menginginkan kedudukan, jabatan, dan kepemimpinan. Padahal, untuk memimpin diri sendiri saja kita sudah tidak sanggup. Itulah yang menyebabkan seorang pemimpin tersungkur menjadi hina. Tidak pernah ada seorang pemimpin jatuh karena orang lain. Seseorang hanya jatuh karena dirinya sendiri. Kedua, Rasulullah saw. memperlihatkan kepemimpinannya tidak dengan banyak menyuruh atau melarang.
Beliau memimpin dengan suri teladan yang baik. Pantaslah kalau keteladannya diabadikan dalam Alquran,
                        لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S. Alahzab: 21).
Dalam kehidupannya, Rasulullah saw. senantiasa melakukan terlebih dahulu apa yang ia perintahkan kepada orang lain. Keteladanan ini sangat penting karena sehebat apa pun yang kita katakan tidak akan berharga kecuali kalau perbuatan kita seimbang dengan kata-kata. Rasulullah tidak menyuruh orang lain sebelum menyuruh dirinya sendiri. Rasulullah tidak melarang sebelum melarang dirinya. Kata dan perbuatannya amat serasi sehingga setiap kata-kata diyakini kebenarannya. Efeknya, dakwah Beliau punya kekuatan ruhiah yang sangat dahsyat. Dalam Alquran Allah Azza wa Jalla berfirman,
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS Ashshaf: 3).
Ketiga, kepemimpinan Rasulullah tidak hanya menggunakan akal dan fisik, tetapi Beliau memimpin dengan kalbunya. Hati tidak akan pernah bisa disentuh kecuali dengan hati lagi. Dengan demikian, yang paling dibutuhkan oleh manusia adalah hati nurani, karena itulah yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Rasulullah menabur cinta kepada sahabatnya sehingga setiap orang bisa merasakan tatapannya dengan penuh kasih sayang, tutur katanya yang rahmatan lil alaamiin, dan perilakunya yang amat menawan. Seorang pemimpin yang hatinya hidup akan selalu merindukan kebaikan, keselamatan, kebahagiaan bagi yang dipimpinnya. Sabda Rasulullah saw.
“Sebaik-baik pemimpin kalian ialah yang kalian mencintainya dan dia mencintai kalian. Dia mendoakan kebaikan kalian dan kalian mendoakannya kebaikan. Sejelek-jelek pemimpin kalian ialah yang kalian membencinya dan ia membenci kalian. Kalian mengutuknya dan ia mengutuk kalian.”
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dengan tulus dan menafkahkan jiwa raganya untuk kemaslahatan umat. Ia berkorban dengan mudah dan ringan karena merasa itulah kehormatan menjadi pemimpin, bukan mengorbankan orang lain. pemimpin memiliki kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hall yang tidak benar. Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus memahamii hakikat kepemimpinan dalam pandangan Islam yang secara garis besar dalam lima lingkup.
1. Tanggung Jawab,
Bukan Keistimewaan. Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggungjawabkannya,. Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah Swt. Oleh karena itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya. Contoh lain, ketika Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang cemerlang datang ke sebuah pasar untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan yang mulia sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya membawa barangnya. Setelah ia tahu bahwa Umar sang khalifah yang disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu kesalahan. Karena kepemimpinan itu tanggung jawab atau amanah yang tiodak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi suatu kepastian, Rasulullah Saw bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Pengorbanan,
Bukan Fasilitas Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit. Karenanya dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 400 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 10 dirham, hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya. Karena itu menjadi terasa aneh bila dalam anggaran belanja negara atau propinsi dan tingkatan yang dibawahnya terdapat anggaran dalam puluhan bahkan ratusan juta untuk membeli pakaian bagi para pejabat, padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan harga yang mahal sekalipun dengan uangnya sendiri sebelum ia menjadi pemimpin atau pejabat.
3. Kerja Keras,
Bukan Santai. Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk Selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan optimisme. Saat menghadapi krisis ekonomi, Khalifah Umar bin Khattab membagikan sembako (bahan pangan) kepada rakyatnya. Meskipun sore hari ia sudah menerima laporan tentang pembagian yang merata, pada malam hari, saat masyarakat sudah mulai tidur, Umar mengecek langsung dengan mendatangi lorong-lorong kampung, Umar mendapati masih ada rakyatnya yang masuk batu sekedar untuk memberi harapan kepada anaknya yang menangis karena lapar akan kemungkinan mendapatkan makanan. Meskipun malam sudah semakin larut, Umar pulang ke rumahnya dan ternyata ia memanggul sendiri satu karung bahan makanan untuk diberikan kepada rakyatnya yang belum memperolehnya.
4. Kewenangan Melayani,
Bukan Sewenang-Wenang. Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik dari pemimpin sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR. Abu Na’im) Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup, ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi rakyatnya apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianat yang paling besar, Rasulullah Saw bersabda:
“Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya (HR. Thabrani)”.
5. Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor
Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka ia telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam soal materi, maka ia tunjukkan kesederhanaan bukan malah kemewahan. Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan kebenaran. Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah Saw tunjukkan keteladanan dan kepeloporan dalam banyak peristiwa. Ketika Rasulullah Saw membangun masjid Nabawi di Madinah bersama para sahabatnya, beliau tidak hanya menyuruh dan mengatur atau tunjuk sana tunjuk sini, tapi beliau turun langsung mengerjakan hal-hal yang bersifat teknis sekalipun. Beliau membawa batu bata dari tempatnya ke lokasi pembangunan sehingga ketika para sahabat yang lebih muda dari beliau sudah mulai lelah dan beristirahat, Rasul masih terus saja membawanya meskipun ia juga nampak lelah. Karena itu seorang sahabat bermaksud mengambil batu yang dibawa oleh nabi agar ia yang membawanya, tapi nabi justeru menyatakan: “kalau kamu mau membawa batu bata, disana masih banyak batu yang bisa engkau bawa, yang ini biar tetap aku yang membawanya”. Karenanya para sahabat tetap dan terus bersemangat dalam proses penyelesaian pembangunan masjid Nabawi. selanjutnya kriteria apa saja yang dapat kita gunakan untuk menguji sudah sejauh mana kita mampu meniru gaya kepemimpinan Rasulullah SAW tersebut? Setiap masa kita selalu mendambakan seseorang yang menjadi panutan yang paling ideal bagi kita. Kita masih perlu belajar untuk mengevaluasi sudah sejauh mana kita mampu mengikuti jejak Rasulullah itu. Disini, penulis ingin mengetengahkan beberapa prinsip kepemimpinan dalam Islam sekaligus menyertakan beberapa kriteria sebagai bahan evaluasi bagi para pemimpin. Penulis hanya akan membatasi pada lima prinsip saja mengingat keterbatasan waktu dan ruang. Tentunya, yang menjadi sandaran penulis dalam mengangkat prinsip-prinsip kepemimpin ini dengan mengacu kepada kepemimpinan Muhammad Rasulullah SAW. Prinsip kepemimpinan Rasulullah SAW tersebut antara lain:
Pertama, bertanggung jawab. Rasulullah SAW senantiasa berpegang kepada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Segala sesuatu yang beliau lakukan hanyalah karena Allah SWT semata. Tugas, pangkat dan jabatan tersebut datangnya jua dari Allah SWT, maka kepada Allah SWT pulalah kita mempertanggungjawabkannya. Tatkala suatu perintah dari Allah datang kepada Muhammad SAW, maka beliaupun segera menjalankan perintah tersebut sekaligus menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Inilah yang disebut dengan bentuk pengabdian seorang hamba yang paling tinggi. Beliau tak pernah menunda-nunda dalam urusan mengerjakan perintah Allah SWT. Sudah tentu pula bahwa tingkat kepatuhan seorang hamba yang paling rendah itu adalah dengan menunda-nunda pekerjaan yang diberikan kepadanya. Tingkatan kedua adalah mengerjakan perintah Allah SWT tersebut, tapi masih diikuti oleh rasa ragu-ragu. Dan Rasulullah SAW terhindar dari dua sikap yang terakhir ini. Sekali lagi, tingkat kepatuhan seorang hamba itu akan terlihat manakala ia mengerjakan perintah Allah SWT tersebut dengan hati yang gembira, dan kegembiraan itu muncul dari dalam hatinya sendiri. Kita harus bercita-cita dan berusaha untuk meraih tingkat kepatuhan kepada Allah SWT dengan tingkat kapatuhan yang paling tinggi sebagaimana yang telah diraih oleh Rasulullah SAW.
Kedua, rendah hati. Para pemimpin saat ini cenderung memperlihatkan perhatiannya terhadap kekuasaan dan kakayaan dari pada memperhatikan etika dan moral, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan, tak terkecuali pemimpin Muslim, semuanya sama saja. Pada kenyataannya, banyak diantara pemimpin Muslim itu yang angkuh, sombong dan tak tahu diri. Sungguh sangat naif sekali bagi para pemimpin yang berfikir semacam ini. Rasulullah SAW membuat standar kepemimpinan tersebut berdasarkan kebutuhan, bukan berdasarkan pada hasrat atau keinginan untuk meraih sebuah status, pangkat atau jabatan. Dari beberapa contoh diatas tadi, kita dapat mengevaluasi gaya kepemimpinan kita. Baik sebagai pemimpin di masyarakat sekitar atau pemimpin suatu bangsa. Adakah kepemimpinan kita tersebut seimbang antara kemauan yang kita miliki dan kemampuan yang ada pada diri kita? Bila kita merasa tak mampu, maka berikanlah kesempatan kepada mereka yang lebih mampu untuk menjadi pemimpin itu.
 Ketiga, senantiasa mencari dan berbagi ilmu. Rasulullah SAW tidak pernah berhenti dan menyerah dalam mencari dan menuntut ilmu. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa ilmu tersebut harus senantiasa dikejar dan dicari. Bagaimana kita bisa mengaplikasikan kriteria ini dalam kepemimpinan modern sekarang? Salah satu bentuk ilmu pengetahuan yang sangat berkembang dengan pesatnya saat ini adalah teknologi dan informasi. Sebagai seorang Muslim, kita harus menyadari adanya revolusi teknologi ini. Masyarakat Muslim saat ini boleh dibilang masyarat yang gagap teknologi. Dalam menyikapi persoalan masyarakat Muslim yang dinilai gagap teknologi ini, muncul beberapa perbedaan pandangan di tengah masyarakat baik secara individu, kelompok, organisasi atau institusi. Disini perlu dialog yang membangun untuk bisa saling bertukar ilmu pengetahuan, menumbuhkan sikap saling menghargai dari berbagai sudut pandang yang bervarisi, menentukan agenda kerja yang jelas serta bekerja sama secara sehat dalam rangka memahami risalah yang telah diembankan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW. Sungguh sangat jarang sekali diantara kita yang mengklaim memiliki ilmu pengetahuan tentang Islam secara mendalam. Karena itu alangkah indahnya bila kita mau berbagi ilmu dalam area yang lebih spesifik lagi, misalnya dalam perkara yang berkaitan langsung sesama manusia, seperti, bagaimana pendekatan seorang Muslim dalam masalah transaski keuangan. Kriteria lain yang akan muncul adalah bagaimana kita mendemonstrasikan Islam ketika kita berhubungan dengan orang lain. Entah itu dengan bawahan atau atasan kita, klien kita, tetangga dan sebagainya. Barangkali salah satu cara yang paling baik untuk berbagi ilmu tersebut adalah dengan mengekspresikannya melalui profesi kita masing-masing, baik sebagai seorang dokter di rumah sakit atau seorang peneliti di laboratorium dan lain sebagainya.
Keempat, mau mendengarkan dan tanggap situasi. Kita lihat bagaimana Rasulullah SAW bersikap dalam mengambil sebuah keputusan. Banyak orang yang datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadu. Namun sebelum beliau mengeluarkan suatu keputusan, terlebih dahulu beliau mencari informasi yang lebih banyak lagi. Keputusan dari Rasulullah SAW baru akan keluar setelah beliau merasa cukup dan memahami persoalan dan situasi yang dihadapinya. Keinginan untuk mau mendengarkan orang lain, dan memahami apa yang didengar serta mengeluarkan keputusan tersebut sesuai dengan ketetapan Alquran dan syari’ah, merupakan kriteria yang telah diterapkan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupannya. Dan tanggap situasi tidak selamanya berati memberikan solusi terhadap suatu persoalan pada saat itu juga. Akan tetapi, memberikan solusi atau mengeluarkan keputusan setelah mengumpulkan beberapa informasi yang cukup terlebih dahulu.
Kelima, membangkitkan semangat orang lain. Salah satu kualitas Rasulullah SAW yang paling indah adalah sikap lemah lembut dan kehalusan budi pekertinya serta komitmennya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Pokok ajaran Islam itu universal dan diakui bahkan oleh kalangan non-Muslim sekalipun. Dalam Islam, untuk menjadi seorang yang mampu mengendalikan roda kehidupan masyarakat, haruslah berasal dari perasaan cinta dan kerinduan. Kita akan tahu bahwa kita adalah pemimpin yang efektif bilamana masyarakat sudah percaya dengan diri mereka sendiri. Yang membuat kita berdecak kagum dengan kepemimpinan Rasulullah SAW tersebut adalah dimana saat ini tidak ada pemimpin yang mampu meniru gaya kepemimpinan Rasulullah SAW itu. Pada saat yang sama, Rasul itu adalah seorang pakar sosiologi, pemimpin perang, pemimpin bertaraf internasional, seorang menejer, kepala negara, ahli fisafat dan seorang visioner, hanya untuk menyebutkan beberapa keahlian yang dimiliki Rasulullah SAW, dan masih banyak lagi yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Melalui Rasulullah ini jualah, kita bisa melihat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Dalam al-Qurân surah al-Ahzab ayat 21 ,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu ada suri teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan(rahmat / keridaan) Allah, dan (kedatangan) Hari Akhirat dan dia banyak menyebut / mengingat Allah”.
Setiap orang memiliki tanggung jawab kepemimpinan, seperti seorang ayah, guru, menejer di sebuah perusahaan, pimpinan organisasi, buruh atau karyawan bahkan dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan. Islam adalah “A way of life” yang tidak hanya terfokus pada persoalan ibadah semata, tapi Islam juga berkaitan dengan semua urusan kehidupan manusia. Menjadi seorang pemimpin tak hanya mengerti terhadap tugas dan tanggung jawab saja, namun lebih dari itu, sebagai seorang pemimpin kita juga dituntut untuk memiliki adab dan memberikan contoh kehidupan seorang pemimpin yang layak dan patut untuk ditiru oleh masyarakatnya.

EKONOMI BERSUMBER DALAM AL QUR'AN SURAT YUSUF AYAT 47-49


47. Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.
48. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.
49. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur."


A.        Pengertian Pangan

          Pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik  yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (Anonim, 2012).

       Makanan  atau  tha'am  dalam  bahasa  Al-Quran  adalah  segala sesuatu  yang  dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun termasuk dalam pengertian tha'am.  Al-Quran  surat  Al-Baqarah ayat 249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath'am (makan) untuk objek berkaitan dengan air minum. Kata tha'am dalam berbagai bentuknya terulang  dalam  Al-Quran sebanyak  48  kali yang antara lain berbicara tentang berbagai aspek berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kosa kata selainnya. Perhatian   Al-Quran   terhadap   makanan   sedemikian  besar, sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i, "Telah  menjadi  kebiasaan  Allah  dalam  Al-Quran  bahwa  Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal tersebut   melalui   uraian   tentang   ciptaan-Nya,  kemudian memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan)." Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Al-Quran menjadikan kecukupan pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab utama kewajaran beribadah kepada  Allah.  Begitu  antara  lain kandungan firman-Nya dalam surat Quraisy (106): 3-4, yang artinya:
“Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka makan sehingga terhindar dari lapar dan member keamanan dari segala macam ketakutan” (Shihab, 1996).

B.        Ketrsediaan Pangan

       Ketersedian pangan menurut kapitalis adalah ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersedian pangan dalam hal ini lebih serng dilihat secara makro.  Jika stok memadai dibandingkan tingkat kebutuhan secara makro maka ketersediaan pangan dianggap cukup.  Masalah distribusi dan bisa diakses oleh tiap individu atau tidak, itu tidak jadi perhatian.  Disamping itu dengan filosofi kebebasan ala kapitalis maka penyediaan pangan itu harus diberikan kepada swasta secara bebas.  Keserdiaan pangan yang ditempuh pada sistem kapitalis ini tidak membatasi pelaku penjamin ketersedian pangan oleh negara. Hal itu memungkinkan pihak-pihak lain di luar Negara (swasta DN dan LN) bisa mengambil andil yang sangat besar.  Akibatnya terjadilah monopoli bahan pangan, menumpuknya kendali supply pangan pada sekelompok orang, serta impor yang menyebabkan ketergantungan kepada Negara lain ( lihat RUU tentang Pangan). Contoh, saat ini impor kedelai yang 90% berasal dari AS dikuasai oleh empat perusahaan saja termasuk Cargill yang induknya di AS, impor gula dikuasai oleh 7-8 perusahaan saja, impor gandum yang tahun ini bisa mencapai 7,1 juta ton senilai USD 3,5 miliar atau setara Rp 32,8 triliun (liiputan6, 17/6) dikuasai tidak lebih oleh 4 perusahaan saja, yang terbesar Bogasari dari Grup Salim. Hanya beras yang impornya dikendalikan oleh negara, tapi pelaksanaan impornya yang ditenderkan kepada importir swasta dan dijadikan bancakan oleh para pejabat dan politisi. Pada saat ini perusahaan–perusahaan yang memiliki modal besar mampu menguasai pangan dari hulu hingga hilir (contoh, mulai dari impor gandum, industri tepung terigu sampai makanan olahan berbahan tepung terigu dikuasai oleh perusahaan dari satu grup, terutama grup Salim Bogasari – Indofood cs). Akibatnya mereka bisa mengendalikan penentuan harga di pasar, dan menyebabkan hilangnya peluang usaha bagi masyarakat yang memiliki modal terbatas (HTI, 2012).

       Pangan sebagai unsur paling pokok dari kebutuhan hidup manusia selalu menjadi bahan perbincangan dan perdebatan yang masih terus saja mengalir. Dimulai dari kaum Fisiokrat yang melihat pentingnya lahan pertanian sebagai aset paling dominan bagi kemakmuran rakyat, pangan terus mendapat porsi penting dalam strategi pembangunan suatu negara. Beberapa pemerintahan dunia, seperti Amerika Serikat dan Australia misalnya, memberikan subsidi yang luar biasa besar bagi sektor pertanian. Karena sektor inilah yang akan langsung berhubungan dengan hajat hidup rakyat banyak. Tidaklah mengherankan jika kemudian sebuah negara bagian seperti Nebraska mampu mensuplai kebutuhan pangan untuk sepertiga kebutuhan total dunia. Pemerintah Indonesia sendiri juga dahulunya memberikan porsi utama pada sektor ini. Namun seiring perkembangan zaman dan tuntutan kemajuan teknologi, orientasi pun diarahkan pada industrialisasi. Dampak positifnya memang dapat kita rasakan, namun tanpa struktur pertanian tanaman pangan yang baik swasembada yang dahulu pernah menjadi kebanggaan seakan hanya tinggal dongeng dan cerita lalu saja. Lalu bagaimanakah Al-Qur’an melihat permasalahan pangan ini? Salah satu surat makiyyah yang cukup banyak memberikan ulasan seputar masalah pangan suatu negara adalah surat Yusuf. Surat bernomor urut dua belas ini banyak menceritakan sebagian kisah hidup Nabi Yusuf as, yakni dalam 98 ayat dari total 111 ayat yang terdapat dalam surat ini. Surat ini diawali dengan penegasan bahwa Al-Qur’an adalah kitab mubinan yang memberi penjelasan kepada manusia dengan perantara bahara Arab agar manusia mau berfikir menggunakan akalnya (QS.Yusuf[12]:1-2). Dalam rangakaian ayat-ayat keempat puluh tiga dan seterusnya urusan logistik mulai dibicarakan. Setidaknya terdapat dua faktor pokok menajemen pangan yang gambarkan ayat-ayat tersebut (Yuli, 2008).

C.        Manajemen Pangan dalam Islam

       Krisis pangan yang terjadi di Indonesia tidak bias lagi dihindarkan karena beberapa faktor yang telah disebutkan di atas. Dengan hal ini, maka diperlukan manajemen pangan yang menggunakan beberapa pendekatan menurut perspektif Islam. Menurut Yuli 2008, ada dua pendekatan yang digunakan dalam memanajemen pangan berdasarkan perspektif dalam Islam yaitu sebagai berikut:

1.        Program Pangan Yang Baik Dan Jelas (Good Programming)

       Faktor yang pertama mendapat perhatian adalah masalah Good Programming. Perencanaan yang matang dari suatu kebijakan diterangkan secara rinci dalam ayat 43 sampai dengan 49. Dimulai dari mimpi Sang Raja Mesir yang melihat tujuh ekor sapi betina gemuk dimakan oleh tujuh sapi betina kurus dan tujuh tangakai gandum yang hijau dengan tujuh tangkai yang kering (QS.Yusuf [12]:43). Para ahli nujum kerajaan mengalami kebingungan dengan mimpi ini. Lalu tampilah Nabi Yusuf as, yang sebelumnya dipenjara memberikan penjelasan terhadap masalah mimpi tersebut. Beliau lewat ilmu yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya menceritakan bahwa selama tujuh tahun ke depan, Mesir akan mengalami panen yang baik, lalu diikuti dengan masa paceklik dalam rentang waktu yang hampir sama (QS.Yusuf[12]:47-49).

       Berdasarkan ramalan futuristik dari Nabi Yusuf inilah selanjutnya diagendakanlah sebuah perencanaan (planning) jauh ke depan, yang matang untuk menghadapi bahaya kelaparan yang mungkin terjadi. Panen dan swasembada pangan yang diperoleh penduduk Mesir selama tujuh tahun diinventarisir untuk kepentingan konsumsi di masa yang akan datang. Upaya-upaya produktif untuk menjaga kestabilan produksi pangan agar seimbang dengan pertumbuhan penduduk pun dilakukan. Partisipasi aktif dari seluruh rakyat Mesir pun tampak dalam keadaan yang serba tidak pasti ini. Sehingga tak mengherankan jika kemudian rakyat Mesir berhasil melewati tantngan pangan yang melanda mereka. Bahkan rangkaian ayat selanjutnya pun menceritakan kepada kita bahwa bangsa Mesir mampu memberi bantuan tetangga-tetangga negeri lain yang kekurangan (QS.Yusuf[12]:58).

2.    Kemampuan Memimpin Yang Efektif Dan Bertanggung Jawab (Smart Leadership)

       Faktor kedua yang secara signifikan memberi kontribusi bagi efektifnya program pangan kerajaan Mesir tersebut adalah kepemimpinan yang luar biasa cerdas (smart leadership) dari seorang Nabi Yusuf as. Dikisahkan bahwa setelah menceritakan ta’wil dari mimpi Sang Raja dan diundang ke istana, Nabi Yusuf as menunjukkan kompetensi beliau sebagai seorang yang memilki kemampuan untuk menjadi bendahara negara yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan pangan pada waktu itu (QS.Yusuf[12]:55). Dalam ayat kelima puluh lima ini juga Nabi Yusuf as memberi kriteria yang membuat dirinya layak untuk jabatan penting tersebut. Kriteria pertama adalah hafidh  yang berarti mampu menjaga. Mampu menjaga amanah dan tidak menyia-nyiakannya, baik untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Hal ini memang terbukti dengan keberhasilan beliau membawa Mesir tidak hanya aman dari bahaya kelaparan pada masa paceklik, tetapi sekaligus mampu memberikan bantuan pada negara tetangga.

       Kriteria kedua yang diajukan oleh Nabi Yusuf as adalah ‘alim yang berarti memiliki kepandaian dan kemapuan intelektual. Hal ini penting mengingat pengaturan masalah suatu negara bukanlah pekerjaan ringan. Dibutuhkan semngat juang tinggi yang tak kenal putus asa untuk mewujudkan cita-cita baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Dengan dua kriteria inilah Nabi Yusuf kemudian memimpin badan urusan pangan negeri Mesir kala itu bersiap menghadapi bahaya kelaparan di musim kering. Melalui prediksi yang akurat akan kebutuhan pangan di masa datang, panen yang mencapai swasembada di tujuh tahun pertama disimpan untuk kepentingan masa depan. Hal ini terbukti efektif dan memberi hasil positif sehingga pada akhirnya Nabi Yusuf as mendapat kedudukan terhormat di kalangan bangsa Mesir makiinun amiin (QS.Yusuf[12]:54).

       Yang cukup menarik kemudian adalah bagaimanakah kualifikasi seorang Nabi Yusuf as ini dapat diperoleh seseorang. Jika kita melihat berbagai ujian dan cobaan (fit and proper test) yang telah dijalani Nabi Yusuf as, maka nampaknya posisi dan kedudukan yang diperoleh beliau tersebut adalah wajar. Karena melihat besarnya cobaan dan gadaan yang beliau alami selama hidup ini. Pertama Nabi Yusuf as berada dalam keadaan yang tidak mengenakkan semasa kecil. Saudara-saudaranya tidak menyukainya, bahkan memasukkannya ke dalam sumur tua hingga kahirnya ia diambil seorang musafir dan dijual sebagai budak pembesar istana (QS.Yusuf[12]:15-21). Kedua beliau mendapat ujian dari istri majikannya yang mengajak kepada perbuatan yang tercela (QS.Yusuf[12]:23). Nabi Yusuf lulus dari godaan ini, namun karena faktor kekuasaan beliau pun harus rela dimasukkan ke dalam penjara. Penjara inilah yang menjadi ujian ketiga bagi Nabi Yusuf as, yang dengan ketabahan dan keimanannya beliau mampu mengatasinya (QS.Yusuf[12]:33). Itulah juga yang menjadi penguat pondasi akidah Nabi Yusuf as putra dari Nabi Ya’qub as, putra dari Nabi Ibrahim as.

D.        Ketahanan Pangan

       Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang mencanangkan konsep secure, adequate and suitable supply of food for everyone –Jaminan, Kecukupan dan Supply Yang Terjangkau dari Makanan untuk Semua Orang-”. Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun umumnya mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni “jaminan akses setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy life). Studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (HTI, 2012).

       Ada sebuah fakta yang disampaikan waktu penulis berada di Wamena, Papua. Mengapa gigi dan senyum orang Irian manis-manis dan putih seperti mutiara? Tidak lain adalah karena mereka tidak makan makanan yang instant, aneh-aneh dan keras-keras. Yang di makan adalah ubi, talas, papeda dari sagu dan berbagai jenis ikan. Semua itu tidak membuat koleterol naik. Tetapi menurut keterangan beberapa pakar Papua, kini kebiasaan itu telah berubah. Di Wamena sudah terkenal makanan-makanan fast food, termasuk makanan-makanan keras dan mahal-mahal. Hal itu dapat diatasi dengan kembali kepada alam (back to nature). Sesuai dengan semboyan nenek moyang kita, kembali ke alam, kembali mencintai produk-produk kita sendiri. Termasuk makanan, pakaian dan lain-lainnya. Baru-baru ini memang dikembangkan sistem peningkatan gizi dengan mengacu kepada deversifikasi (penganekaragaman pangan). Mengapa? Karena tidak lain produk-produk di dalam negeri Indonesia cukup memberi gizi dan protein kepada penghuninya. Tidak perlu menggantungkan dari impor manakala ada perbaikan-perbaikan sistem ekonomi kita yang sifatnya liberal ini untuk ekonomi kerakyatan. Contoh, di semua daerah ada jagung, ketela, ubi, singkong, ganyong, sukun, pepaya dan lain-lain yang bisa ditanam dimanapun dan membuat rakyat tidak kelaparan. Mengapa rakyat banyak kelaparan di desa-desa? Tidak lain karena sistem pertanian kita tidak terjangkau oleh rakyat kecil. Menurut pepatah kita mengatakan “lebih besar pasak dari pada tiang”. Penganekaragaman pangan merupakan hal yang perlu di kembangkan saat ini. Karena rakyat Indonesia makin bertambah. Kalau hasil pertanian makin berkurang dan hasil perairan laut kita banyak di jajah oleh Negara lain. Karena sistem pertanian kita masih leberalistik sifatnya, tidak mengacu kepada ketahanan pangan dan daya beli yang cukup. Kebijakan dari pembangunan yang selama sepuluh tahun ini dilakukan merupakan kebijakan yang “tambal sulam”. Kini harus dibuat kembali sistem pertanian yang mengacu kepada kemanusiaan sesuai dengan nilai ke- Indonesiaan. Yang terjadi justru sistem perekonomian dan pertanian kita saat ini melahirkan produk-produk kriminalitas tinggi yang dirancang oleh reklame yang konsumtif sifatnya. Sebagai contoh pula rakyat di desa-desa juga dijejali oleh barang-barang yang konsumtif sifatnya. Harusnya pemerintah mengembangkan agar kebutuhan rakyat dapat dipenuhi. Misalnya ketahanan pangan harus dikembangkan, pengendalian harga bahan pokok juga harus dikembangkan. Pemerintah sangat keliru jika pengambilan kebijakan untuk menurunkan kemiskinan, tetapi malah menambah kemiskinan. Contoh, kenaikan harga BBM, yang ada malah memberi peluang kepada para spekulan dan harga terus meningkat. Contoh lagi kebijakan mengenai kenaikan tarif tol, membuat harga-harga makin naik. Karena para pedagang tidak sebodoh yang di tuduhkan daripada para pengusaha. Begitu BBM dan tarif tol naik, maka harga barang dagangan juga akan lebih tinggi lagi (Anonim, 2013).

E.    Ketahanan Pangan dalam Islam

       Ketahanan pangan dalam sistem Islam tidak terlepas dari sistem politik Islam. Politik ekonomi Islam yaitu jaminan pemenuhan semua kebutuhan primer (kebutuhan pokok bagi individu dan kebutuhan dasar bagi masyarakat) setiap orang individu per individu secara menyeluruh, berikut jaminan kemungkinan bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang memiliki gaya hidup tertentu. Terpenuhinya kebutuhan pokok akan pangan bagi tiap individu ini akan menentukan ketahanan pangan Daulah.  Selain itu, ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan yang dibutuhkan oleh rakyat besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia.  Hal itu berpengaruh pada kemampuan, kekuatan dan stabilitas negara itu sendiri.  Juga mempengaruhi tingkat kemajuan, daya saing dan kemampuan negara untuk memimpin dunia. Lebih dari itu, negara harus memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dan pangan utama dari daam negeri.  Sebab jika pangan pokok dan pangan utama berkaitan dengan hidup rakyat banyak tergantung pada negara lain melalui impor hal itu bisa membuat nasib negar tergadai pada negara lain.  Ketergantungan pada impor bisa membuka jalan pengaruh asing terhadap politik, kestabilan dan sikap negara.  Ketergantungan pada impr juga berpengaruh pada stabilitas ekonomi dan moneter, bahkan bisa menjadi pemicu krisis.  Akibatnya stabilitas dan ketahanan negara bahkan eksistens negara sebagai negara yang independen, secara keseluruhan bisa menjadi taruhan. Karena itu ketahanan pangan dalam Islam mencakup:
 (1) Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pangan;
(2) Ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan oleh individu masyarakat; dan
(3) Kemandirian Pangan Negara. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Pangan Negara  dalam pandangan Islam memiliki tugas untuk melakukan kepengurusan terhadap seluruh urusan rakyatnya, baik dalam ataupun luar negri ( ri’âyah su`ûn al-ummah).

Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan (selain kebutuhan pokok sandang dan papan serta kebutuhan dasar pendidikan,kesehatan dan keamanan) seluruh rakyat individu per individu.  Dalil bahwa itu merupakan kebutuhan pokok diantaranya bahwa imam Ahmad telah mengeluarkan hadits dengan sanad yang dishahihkan oleh Ahmad Syakir dari jalur Utsman bin Affan ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:

«كُلُّ شَيْءٍ سِوَى ظِلِّ بَيْتٍ، وَجِلْفِ الْخُبْزِ، وَثَوْبٍ يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَالْمَاءِ، فَمَا فَضَلَ عَنْ هَذَا فَلَيْسَ لابْنِ آدَمَ فِيهِ حَقٌّ»

“Segala sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, dan pakaian yang menutupi auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak Adam di dalamnya”.

Hadits tersebut juga dinyatakan dengan lafazh lain:

«لَيْسَ لابْنِ آدَمَ حَقٌّ فِي سِوَى هَذِهِ الْخِصَالِ: بَيْتٌ يَسْكُنُهُ، وَثَوْبٌ يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَجِلْفُ الْخُبْزِ وَالْمَاءِ»

“Anak Adam tidak memiliki hak pada selain jenis ini: rumah yang ia tinggali, pakaian yang menutupi auratnya dan roti tawar dan air”. (HR at-Tirmidzi dan ia berkata hasan shahih).

       Ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan di dalam lafazh hadits itu yaitu pangan, papan dan sandang: «zhillu baytin –naungan rumah», «bayt yaskunuhu –rumah yang ia diami-», «tsawbun yuwârî ‘awratahu –pakaian yang menutupi auratnya-», «jilfu al-hubzi wa al-mâ’ –roti tawar dan air-» itu sudah cukup dan di dalamnya ada kecukupan.  Sabda Rasul di dalam hadits tersebut «apa yang lebih dari ini maka anak Adam tidak memiliki hak di dalamnya» di sini sangat gamblang bahwa tiga kebutuhan inilah yang merupakan kebutuhan pokok.  Kedua hadits ini menyatakan tentang kebutuhan-kebutuhan pokok yaitu pangan, papan dan sandang.  Yang lebih dari itu maka bukan kebutuhan pokok, dan pemenuhannya terjadi dimana kebutuhan-kebutuhan pokok individu itu telah terpenuhi. Dalam memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok itu termasuk kebutuhan pokok pangan negara akan menggunakan mekanisme ekonomi dan non ekonomi seperti yang diatur oleh hukum syara’ (HTI, 2012).

F.    Eksistensi Pertanian dalam Ketahanan Pangan

       Dalam Islam, pertanian adalah pekerjaan yang penting, bahkan sampai kiamat menjelang pun, sektor ini harus tetap diperhatikan. Nabi Muhammad saw dalam hadistnya:

“Andainya kiamat tiba dan ditangan seseorang dari kamu ada sebatang anak kurma, maka hendaklah ia tanpa berlengah-lengah lagi tanamkannya”.

       Hadist ini mengisyaratkan betapa pentingnya pertanian sampai kapan pun. Namun ketika pertanian kurang mendapat perhatian, ia memberikan kesan yang besar. Hal ini terbukti ketika perekonomian Indonesia yang berazas pertanian dialihkan pada perekonomian yang berbasis industrialisasi. Berbagai kebijakan yang mendukung pertanian secara berangsur dihilangkan. Akibatnya produktifitas pertanian mengalami penurunan dan ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Namun  ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, justru sektor pertanianlah yang menyelamatkan perekonomian Indonesia. Dalam al-Qur’an banyak dijelaskan bahwasanya dari tanah pertanianlah diperoleh sumber makanan bagi kehidupan manuasia. Hal ini dapat dilihat pada Surah Al-A’raf (7):10

 “Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan disana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu……”

Dan pada Surah Ar-rahman 55:10-11

 Dan Bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-(Nya), didalamnya ada buah-buahan dan pohon  kurma yang mempunyai kelopak mayang.”

       Ayat-ayat ini mengisyaratkan bahwasanya Allah telah menciptakan bumi dengan segala kekayaannya, dan manusia dianjurkan untuk mencari penghidupan darinya. Dari bumilah didapatkan sumber penghidupan  berupa makanan.

“Allah-lah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya”  Surah Al-Mulk (67): 15

       Ayat ini mengisyaratkan bahwasanya kewajiban manusia untuk mendiami bumi, mengelola dan mengembangkan bumi. Pada dasarnya isyarat ini meliputi kewajiban manusia untuk memenuhi  keperluan hidup manusia, seperti makanan, dan pakaian. Setiap individu tanpa terkecuali diwajibkan untuk memenuhi keperluan hidup dengan usahanya sendiri. Ayat ini juga menjadi dasar untuk mengelola sektor pertanian. Kewajiban di sektor pertanian  menjadi fardhu ain, ketika hanya pekerjaan ini saja yang bisa dilakukan seseorang untuk mencari nafkah bagi diri dan keluarganya. Begitu pula ketika pemerintah mengeluarkan arahan pada seseorang
yang mempunyai keahlian tertentu dalam bidang pertanian yang
diperlukan masyarakat dan tidak ada orang lain yang mampu, maka menjadi fardhu ain ia melaksanakan arahan itu. Namun ketika banyak petani
mampu melakukan usaha yang sedemikian, maka pekerjaan tersebut menjadi fardhu kifayah. Tiada dosa lagi jika telah tertunai. Dalam Islam fardu kifayah adalah hal yang  mulia dan penting bagi seseorang untuk melakukannya karena manfaatnya adalah lebih besar daripada manfaatnya untuk diri sendiri. Hukumnya menjadi fardu kifayah karena untuk keperluan orang banyak (Bundamahyra, 2013).

G.   Pengadaan Pangan

       Pertanian adalah satu kegiatan produksi yang bertujuan untuk pengadaan  makanan. Menurut Dr Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, berdasarkan pada praktek Sayyidina Umar menjelaskan bahwasanya dalam memproduksi ini harus memperhatikan beberapa hal yaitu berproduksi itu bertujuan mendapatkan keuntungan tertentu, memenuhi keperluan dirinya dan keluarganya, dalam memproduksi ini tidak mengandalkan orang lain, berproduksi itu bertujuan untuk mengembangkan manfaat yang berkelanjutan, adanya kemandirian ekonomi (terbebas dari belenggu taklid ekonomi), serta sebagai realisasi pengabdian diri pada Allah. Dalam memproduksi pertanian tujuannya adalah untuk mencari keuntungan yang berguna bagi diri dan keluarganya terlebih dahulu. Ini yang pertama kali digariskan dalam Islam, terpenuhinya kebutuhan dalam negeri yang baik. Dalam kaitannya dengan pengadaan pangan yang bertujuan untuk ketersediaan pangan yang cukup bagi semua orang dalam sebuah
negara. Menurut Islam terdapat 3 cara yang dapat dilakukan yaitu sepenuhnya memproduksi sendiri, dilakukan dengan produksi sendiri dan impor serta sepenuhnya impor. Hal ini dikarenakan tidak setiap tempat menghasilkan produk makanan. Kebijakan impor pernah dilakukan pada pemerintah Umar bin Khattab saat terjadinya krisis Ramadah. Umar mengirimkan surat kepada gubernur yang ada didaerah-daerah untuk mengirimkan bantuannya. Impor makanan dapat dilakukan jika memang negara tersebut tidak dapat  menghasilkan produk tersebut atau produktifitas yang ada tidak mencukupi keperluan. Keputusan untuk melakukan impor dilaksanakan dengan tidak merugikan produktifitas dalam negeri dan negara tersebut mempunyai nilai mata uang yang baik, agar dapat melakukan
pembayaran
.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim, 2012. Tinjauan Historis menghadapi Krisis. http://pikiranpertiwi.blogspot.com/2012/11/tinjauan-historis-menghadapi-krisis.html. Diakses pada tanggal 3 Desember 2013. Makassar.

Anonym, 2013. Sistem Ketahanan Pangan. http://www.poskotanews.com/2013/06/20/sistem-ketahanan-pangan/. Diakses pada tanggal 3 Desember 2013. Makassar.

Bundamahyra, 2013. Ketahanan Pangan di Indonesia dari perspektif Islam. http://bundamahyra.wordpress.com/2013/01/12/ketahanan-pangan-di-indonesia-dari-perspektif-islam/. Diakses pada tanggal 5 Desember 2013. Makassar.

Indonesia, Hizbut Tahrir, 2012. Ketahanan Pangan dalam Persfektif Syariah Islam. http://hizbut-tahrir.or.id/2012/09/11/ketahanan-pangan-dalam-persfektif-syariah-islam/. Diakses pada tanggal 3 Desember 2013. Makassar

Shihab, M.A., Dr. M. Quraish, 1996. WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta: Mizan.

Yuliandriansyah, 2008. Manajemen Pangan dalam Al-Qur’an. http://yuliandriansyah.staff.uii.ac.id/2008/12/04/manajemen-pangan-dalam-alquran/. Diakses pada tanggal 3 Desember 2013. Makassar.

Diposkan oleh Milda Nugrahaeni di 20.35